Seribu Paragraf Cinta

karena pena bisa mengubah dunia...

Name:
Location: Jakarta, DKI, Indonesia

Tuesday, November 14, 2006

Bonus dari Vendor x ??????????

Untuk mengerjakan suatu proyek, perusahaanku menggunakan jasa beberapa subkontraktor dan vendor. Dulu, aku tidak terlalu peduli dengan beberapa vendor itu, aku bekerja untuk pekerjaan kantorku sendiri, dan mereka juga kubiarkan bekerja sesuai kewajiban mereka. Pada saat itu, pa Indra, rekan kerja saya di bagian QC, cukup dekat dengan salah satu vendor, katakan vendor X, dan banyak membantu vendor X itu.

Pada saat lebaran tiba, pa Indra mendapatkan tiket gratis pulang pergi ke kampungnya, diberikan cuma-cuma oleh vendor X. Aku tercengang dengan kabar itu, enak juga kalau dapat yang gratisan seperti pa Indra.

Dua minggu setelah lebaran, scope pekerjaan kantorku sudah selesai, dan hanya tinggal menunggu pekerjaan beberapa vendor lagi. Kali ini, aku membantu mereka semampuku. Kadang-kadang, kalau ada material yang mereka butuh dan tidak punya, aku ambil di warehouse kantorku dan memberikannya pada mereka cuma-cuma. Kadang-kadang juga aku bekerja hingga malam menemani mereka, ikut memberi alternatif solusi untuk beberapa masalah, dan melakukan pengetesan untuk mengetahui bagian mana yang masih harus diperbaiki.

Pekerjaan membantu vendor itu memang sudah semestinya menjadi tanggung jawabku, karena jika pekerjaan mereka tidak selesai atau gagal , kantorku juga yang harus bertanggung jawab. Namun, ada motivasi lain yang diam-diam tumbuh dalam hati kecilku. Ya, motivasi mendapatkan bonus cuma-cuma dari mereka, seperti yang didapat pa Indra beberapa waktuyang lalu.

Kini aku menyadarinya, motivasi mendapat uang terima kasih itu kian dominan dalam hatiku. Aku berpikir cukup lama akan hal ini, merenung dalam beberapa perjalanan pulang kantorku. Lalu aku berusaha kembali pada nilai-nilai yang hakiki. Aku tidak ingin terjebak dalam perasaan ini terus-menerus. Akhirnya, setiap kali kulangkahkan kakiku untuk menuju tempat kerja para vendor itu, aku berusaha bercermin untuk melihat isi hatiku, lalu kubersihkan niat itu, kuhilangkan harapan-harapan mendapat sesuatu dari mereka. Menjadikan alasanku membantu mereka adalah memang tanggung jawab pekerjaanku semata.

Tuesday, October 31, 2006

Metode Menjual Efektif/ The Effective Selling Methode

Kereta api "Purwojawa special edition for lebaran" berangkat dari Purwokerto pada pukul 7.35 pagi. Aku adalah penumpangnya yang duduk di gerbong lima kelas bisnis, nomor tempat duduk 10B. Dari awal berangkat, berbagai penjual popmie, kopi panas, aneka jajanan, mainan, sampai radio FM berkeliaran dan berkali-kali menawarkan dagangannya padaku. Namun aku tidak bergeming, satu persatu tawaran itu kutolak dengan halus. "mboten bu..." (tidak bu) "sampun enten niki" (udah ada ini) atau "matur nuwun, tase mpun penuh" (terima kasih, tasnya dah penuh).

Pukul 9.40 pagi kereta tiba di stasiun Cirebon, berbagai penjual kembali masuk ke kereta termasuk penjual "nasi ayam rendang telor anget" maksudnya boleh milih, mau nasi pake ayam, rendang, atau telor, dan semuanya masih anget-anget. Aku pikir-pikir boleh juga nih, karena sebentar lagi cacing dalam perutku bakal menjerit minta dikasih makan. Maka terbelilah nasi ayam anget, plus bonus air putih anget dalam plastik.

Jam 10.15 kereta sudah ga tau dimana, tapi belum jauh dari Cirebon, ada tukang es kelapa lewat. Es-nya dikemas sedemikian rapi dalam gelas plastik yang sudah diberi satu sendok plastik dan sebatang sedotan. Es-nya juga berwarna-warni dan sang penjual memilih menggunakan nampan untuk menjaga kewibawaannya menjajakan esnya. Aku pikir-pikir, wah enak banget en seger pisan tuh es, maka terbelilah satu gelas es kelapa campur cendol dan aneka buah, plus bonus satu sedotan dan satu sendok plastik.

Jam 10.24, nah ini nih, menit-menit dimana terjadi insiden yang membuatku tersenyum dan akhirnya membuat tulisan ini. Seorang ibu-ibu berjualan oleh-oleh dodol garut. Dengan langkah percaya diri bak peragawati di catwalk beliau melangkah mendekati diriku yang sedang menikmati es campur seger itu. Lalu dengan mantap, sang ibu itu menaruh satu bungkus dodol garut di pangkuanku. Ia mulai mengeluarkan kata-kata. Suaranya tidak keras, setengah berbisik, dalam bahasa jawa halus.

"mas, monggo lah, niki nglarisaken, sedoso ewu angsal tigo lah mas, ngge nglarisaken" sang ibu berkata sambil menyender santai di tempat duduk penumpang di depanku.
Artinya : Mas, silahkan lah, ini ngelarisin, sepuluh ribu dapet tiga lah mas, buat ngelarisin.
Diriku masih terdiam seribu bahasa, masih sambil nyeruput es campur.

"mas, niki nawi tumbas setunggal gangsal ewu, tapi nek sedoso ewu angsal tigo. nggo mas... monggo lah..."
Artinya : mas, ini kalo beli satu lima ribu, tapi kalau sepuluh ribu dapet tiga. silakan mas, silakan lah...
"duh, turnuwun bu, niki tas kulo mpun penuh"
Artinya : duh, makasih bu, ini tas saya dah penuh.
"nglarisaken mas" si ibu berkata-kata seolah tidak mendengar kata-kata saya.
"monggo lah.. niki enak lho mas, lumayan ngge oleh-oleh..."
Artinya : silakan lah, ini enak lho mas, lumayan buat oleh-oleh.

Si ibu tidak beranjak pergi. Yakin sekali nampaknya kalau saya bakal membeli dagangannya. Akhirnya diriku tidak kuasa lagi. Selembar sepuluh ribuan kukeluarkan dan si ibu segera memasukkan tiga box kecil dodol garut. Itu adalah metode penjualan paling efektif yang pernah kutemui. Mungkin, kronologisnya, ketika melihat saya membeli es campur dagangan rekannya yang harganya enam ribu, si ibu berpikir pasti saya tidak keberatan mengeluarkan uang dengan jumlah yang tidak jauh berbeda untuk sejumlah barang yang ia tawarkan. Bravo ibu penjual dodol garut.

Rindu Hujan

Sepanjang perjalanan menggunakan kereta api pada waktu pulang ke purwokerto dan kembali ke jakarta kemarin, sawah-sawah di daerah jawa barat dan jawa tengah yang biasanya hijau terhampar kini berubah warna menjadi coklat. Kesan segar, sejuk, dan subur yang biasanya kudapatkan berubah menjadi kering kerontang, panas, dan gerah. Di kampung saya, air yang biasanya selalu tersedia mulai menipis. Orang-orang mulai mengambil air ke sungai dan pompa-pompa air mulai minta perhatian ekstra dengan memperdalam pipa-pipanya. Hawa dingin yang biasanya kudapatkan di malam dan pagi hari mulai berubah hangat. Tanah-tanah yang lembab menjadi keras, kering, dan berdebu.

Kemarau yang panjang adalah penyebab itu semua. Sudah sekian bulan air yang biasanya turun dari langit dengan sukarela itu tidak menampakkan titik-titiknya yang bening dan begitu kurindukan. Pergantian musim april-oktober oktober-april yang kupelajari di sekolah dasar dan menengah dulu rupanya tidak berlaku lagi saat ini. Lubang di lapisan ozon dan pemanasan global menyebabkan musim di daerah tropis tidak menentu. Dulu, pernah musim kemarau tetap turun hujan, sekarang sebaliknya.

Di tengah kondisi kering ini, saya benar-benar merindukan datangnya hujan. Hujan yang turun dengan lebat seperti disiramkan oleh bidadari-bidadari langit saja. Allohu ya rabbi, memang kemarau ini adalah akibat kesalahan kami yang merusak alam seperti Kau firmankan dalam kitabMu yang suci pada surat Ar Ruum (30:41).
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Namun, aku memohon padaMu karena Engkau maha pengasih, penyayang, dan pengampun pada umatMu, turunkanlah olehMu hujan yang akan menyirami sawah dan ladang kami. Siramilah juga jiwa kami semua, yang tengah dirundung kegalauan.*)

*) Dari lirik lagu Ebiet G Ade, Menjaring Matahari.

Retnong


Malam kedua setelah lebaran, aku duduk-duduk di ruang tamu. Aas dan Dani, kedua adik saya, sedang main games komputer. Tiba-tiba di lantai dekat sudut ruangan saya melihat binatang seukuran kecoa, tapi agak lebih kecil sedikit, sayapnya bening dan tubuhnya berwarna coklat muda agak abu-abu (nah, bingung kan?) yang sedang terdiam dengan innocent. Melihat binatang aneh itu, tercipta kilatan (flash!!!) dalam ingatan saya tentang masa kecil dulu, yang sepertinya ada hubungannya dengan binatang itu.

"Dani... Dan... ana binatang apa kiye arane... duh aku kelalen" kataku sama Dani yang lagi ngeliatin Aas maen solitaire.
Artinya : Dan, ada binatang apa ini namanya... duh saya lupa.
"Apa? endi?" jawab Dani sambil ngelongok.
Artinya : Apa? mana?
"Kiye... nang ngisor, aku si mbiyen nggoleti binatang iku nggo ngapa ya?" aku berusaha nginget-inget.
Artinya : ini... dibawah, aku si dulu nyariin binatang ini buat apa ya?

Waktu Dani lagi ngeliatin si coklat bersayap bening itu, aku jadi inget.
"Oh iya, kuwe li suarane apik ndean... jenenge apa ya? orong-orong apa ya? eh udu ding... apa ya?"
Artinya : oh iya, itu kan suaranya bagus kayaknya... namanya apa ya? orong-orong apa ya? eh bukan ding. apa ya?
"Tangkep Dan..." kataku lagi.
Dani segera mencari plastik, namun dia mendapat plastik yang kecil. Aku bilang mana mungkin nangkep pake plastik sekecil itu, dah terbang duluan dia, tapi ternyata Dani bisa nangkep dengan mudah, katanya karena tuh makhluk dah lemes ga kuat terbang lagi.

Setelah berhasil ditangkap, Aas tertarik juga, dia lihat dan sepertinya dia inget tuh hewan suka ada di pohon, tapi namanya dia juga lupa. Aku bilang ke Dani biar dia cari stoples untuk nempatin orong-orong or what else is that creature's name. Dani membawa-bawa binatang itu ke ruang tengah, tempat ibu dan eyang lagi nonton sinetron.

Ibu nanya "stoples nggo ngapa si? endi aku ndeleng..."
Artinya : Stoples buat apa sih? mana aku lihat...
Dani menunjukkan hasil tangkapannya.
"Oh... retnong... kae nang meja mburi ana toples kosong" kata ibu.
Artinya : Oh... retnong... itu di meja belakang ada toples kosong.

Slash!!! aku jadi inget lagi masa kecil. bener banget kata ibu, itu namanya "Retnong". Waktu SD dulu, kami suka sekali mencari binatang itu, dan seneng banget kalau ada yang dapet, pasti di pamer-pamerin. Tapi suaranya yang bagus itu, aku lupa kayak apa suaranya. kenapa tadi dia ngga bersuara ya? tapi seinget saya suaranya nyaring berdering.

Dani kembali ke ruang depan membawa stoples berisi retnong yang tidak bersalah itu. Kami bertiga memperhatikan dengan seksama. Namun, karena keasyikan maen games, Aas tidak mendengar kata ibu tadi, dia masih nginget-inget apa nama binatang itu.
"Apa si namanya ya?" kata Aas.
"rreettnnoongng" jawab aku dan Dani serempak.
"oh iya, bener. hehehe" Aas baru ngeh.

Tidak lama kemudian, si retnong itu mulai berbunyi. Suaranya seperti jangkrik tapi lebih keras dan lebih berdering nyaring dan merdu seperti suara gitar. kring kring kring... loh itu sih bukan suara gitar tapi dering telepon. hehehe, yah susah deh menggambarkan gimana suaranya kalo ngga denger sendiri. :)

Sholat Ied

Gema takbir di pagi hari masih berkumandang. Setelah sholat subuh saya segera mandi dan bersiap-siap untuk sholat ied di masjid kampung saya. Hal yang aneh ketika saya sholat berjamaah di masjid itu cuma sekali dalam setahun, yaitu saat sholat idul fitri ini, setelah tiga puluh hari kami menunaikan ibadah shaum ramadhan.

Pukul 6.30 ulama kampung kami naik mimbar untuk membacakan beberapa pengumuman, termasuk kas masjid, jumlah zakat fitrah dan zakat mal yang didapat panitia, serta mengingatkan kembali bacaan sholat ied. Hal yang cuma kutemui di kampung saya adalah semua pengumuman itu dibacakan dalam bahasa daerah kami, bahasa jawa banyumasan alus.

Motivasi besar saya untuk mengikuti sholat ied di masjid kampung saya sendiri adalah hal yang unik. Ketika pembacaan pengumuman maupun saat khatib naik mimbar(khutbahnya pake bahasa jawa juga), saya memperhatikan wajah-wajah penduduk kampung saya. Beberapa dari mereka adalah orang yang sangat saya kenal. Beberapa yang lain saya hanya tahu namanya. Sebagian yang lain saya bahkan tidak tahu namanya, hanya kenal muka saja. Wajah-wajah mereka ada yang berubah, ada juga yang persis sama seperti yang saya ingat dulu. Beberapa yang wajahnya berubah, perubahan wajahnya tidak meninggalkan ciri khas mereka. Ada juga orang yang dulu saya tahu namanya, namun sekarang lupa. Saya berusaha mengingat-ingat kembali namanya. Sebenarnya saya tidak ingin semakin banyak orang yang namanya saya lupakan, karena itu saya berada disini.

Kesempatan untuk bertemu mereka kembali sangatlah kecil. Saat sholat idul fitri ini adalah saat dimana semua penduduk desa yang merantau ke berbagai kota kini kembali ke kampung, termasuk teman-teman kecil saya dahulu. Diantara mereka ada yang mengadu nasib ke jakarta, ada juga yang menetap di kampung. Beberapa dari mereka ada yang bersikap canggung ketika bertemu dengan saya. Untuk mereka, saya berusaha maksimal untuk mencairkan suasana canggung itu. Perbedaan pekerjaan membuat mereka ragu-ragu bercakap-cakap dengan saya. Takutnya saya sombong atau gimana. Tapi dalam hati saya, saya tetaplah saya yang dulu, sama-sama anak kampung dan sama-sama main layangan dan kasti waktu kecil dulu.

Setelah khutbah idul fitri selesai, orang-orang tidak langsung pulang, melainkan berbaris untuk bersalaman dengan semua jamaah, sambil melantunkan shalawat nabi. Itu juga tidak akan saya lewatkan, kesempatan untuk melihat semua jamaah masjid kampung saya. Ternyata ada juga orang-orang baru, wajah-wajah penduduk baru kampung saya yang saya belum kenal. Mungkin mereka baru menikah dengan anak tetangga saya. Mungkin juga mereka beli tanah di kampung saya. Yang jelas, semuanya kini menjadi tetangga saya, warga kampung saya.

Sunday, October 15, 2006

Gue Hebat


Gue hebat. Itu bukan kata-kata sombong yang menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Bukan pula bermaksud narsis, begitu mencintai diri sendiri dengan semua kelebihannya padahal kemampuan, kepintaran, dan semua yang ada pada diri saya adalah titipan dari Allah swt. Bukan bermaksud agar semua orang tahu bagaimana oke-nya diri saya. Bukan. Bukan. Gue hebat, hanya segenggam kata-kata yang akan melahirkan kepercayaan diri untuk memotivasi saya agar selalu belajar dan tidak cepat puas dengan hasil kerja yang saya dapat.

Untuk para pembaca yang tidak cocok dengan kata-kata itu, untuk pembaca yang menganggap hal itu bisa menjerumuskan saya ke dalam sifat ujub dan riya, untuk pembaca yang berasumsi bahwa kata-kata itu lebih banyak mengandung mudharat dari pada manfaat, saya benar-benar memohon maaf yang sebesar-besarnya, tapi saya ndak melafazkan kata-kata itu kok, cuma terfikir dalam benak saya saja. Saya juga lagi-lagi meminta maaf atas sifat keras kepala saya yang tetap melanjutkan tulisan saya tentang gue hebat ini.

Anda harus mengingat gue-hebat setiap hari jika anda ingin sukses dalam hidup, tidak terpuruk dalam kesulitan, dan senantiasa menyongsong hari esok dengan kepercayaan diri yang besar. Se-tidak hebat apapun anda, anda tetap harus mengingatnya dan memikirkan bahwa anda adalah orang yang hebat. Bukankah memang begitu? Karena kita hidup di dunia ini, selain diberi kekurangan, pastinya juga diberikan kelebihan oleh Allah swt. Pertanyaan untuk menjadi sukses adalah, bagaimana memaksimalkan kelebihan anda, dan meminimalisir kekurangan anda. Gue hebat akan menjawab dan menyelesaikan masalah itu. Gue hebat juga harus senantiasa diingat, karena setiap pribadi yang lahir ke dunia ini, berasal dari satu sperma yang bertemu dengan ovum. Satu sperma yang berkompetisi dengan sekian puluh juta sperma-sperma lain saat hendak terjadi pembuahan. Sperma pemenang itu, yang mencapai ovum pertama kali lalu melakukan pembuahan, mengalahkan sekian puluh juta sperma lainnya, adalah diri anda sendiri. Kalau begitu, tidak salah jika saya berkata gue hebat.

Tanpa gue hebat, hidup anda akan senantiasa dalam kesulitan. Jika anda tidak "gue-hebat", berarti anda menisbahkan diri anda pada orang yang biasa-biasa saja. Anda adalah "gue-biasa-biasa-aja." Jika anda termasuk salah satu gue-biasa-biasa-aja, kegagalan siap menanti di hadapan. Saat melakukan bisnis dan membuka peluang usaha, anda cenderung tidak berfikir untuk melakukan terobosan-terobosan canggih. Anda benar-benar tidak terfikir kesana karena anda merasa hal itu tidak akan ada gunanya. Anda merasa apa yang anda lakukan tidak akan berhasil bagus, karena selalu, yang ada dalam pikiran anda adalah, "saya tidak bisa melakukannya, saya adalah gue-biasa-biasa-aja." Demikian juga saat melamar pekerjaan, anda menulis dalam kolom "expected salary" beberapa angka dalam jumlah kecil, itupun anda tambahkan tulisan kecil "negotiable" diiringi nyanyian tidak percaya diri dan takut bersaing dengan pelamar-pelamar lainnya. Anda takut perusahaan yang anda lamar akan merekrut pesaing anda karena gaji yang ia minta lebih kecil dari yang anda minta. Padahal anda percaya, rezeki Allah tidak akan nyasar.

Rasa takut dan tidak pe-de itulah masalah anda. Saat anda memulai usaha dan anda khawatir akan gagal, sama saja artinya dengan tidak berprasangka baik terhadap hasil usaha anda. Padahal Allah swt menyatakan bahwa Dia sesuai dengan prasangka hambaNya. Tidak heran jika anda gagal betulan. Belum lagi, pikiran anda akan terkuras untuk mengatasi rasa takut itu. Bagaimana anda akan memikirkan dakwah dan ummat, sementara pikiran anda masih penuh dengan ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap diri anda sendiri?

Nah, jika anda merasa sebagai bagian dari gue-biasa-biasa-aja, saya menawarkan satu solusi yang mungkin tidak pernah terpikir dalam benak anda. Solusi itu adalah, gue-hebat. Gue-hebat akan menyingkirkan rasa takut dan tidak percaya diri yang anda miliki, dan mengarahkannya untuk memaksimalkan potensi anda sebesar-besarnya, karena tentunya Allah swt tidak memberikan kelebihan kepada anda untuk dibiarkan saja tanpa digunakan. Anda harus mensyukuri kelebihan dan potensi yang anda miliki dengan cara memanfaatkan sebaik-baiknya dengan jalan yang baik. Sisihkan waktu beberapa saat sebelum atau sesudah beraktivitas, berfikirlah bahwa anda hebat. Bisa di kamar anda sendiri, dalam perjalanan ke kantor, atau dimanapun yang anda suka. Sering-seringlah melakukannya, maka anda akan termasuk dalam sekte gue-hebat.

Mulai sekarang, anda punya dua pilihan dalam hidup ini, gue-hebat atau gue-biasa-biasa-aja. Silakan memilih, gue-hebat yang menciptakan peluang begitu besar terhadap kesuksesan diri anda, bukan hanya masalah ekonomi dan finansial diri, tapi juga masalah-masalah yang lain, atau ikut dalam kelompok gue-biasa-biasa-aja, yang akan semakin membuka peluang keterpurukan diri anda dan juga imbasnya adalah kesuksesan barat dan kaum Yahudi, yang tentu saja sudah mempunyai prinsip gue-hebat dari jaman nenek moyang mereka.

Semoga bermanfaat.

Dzalika Khoir


Cerita ini terjadi pada zaman dahulu. Terdapatlah seorang kakek tua yang mempunyai kehidupan pas-pasan untuk makan sehari-hari ia dan anak-anaknya. Namun, sang kakek ini mempunyai seekor kuda nan cantik, bulu-bulunya lembut, halus, dan bersinar. beberapa orang kaya sudah menawar kuda itu dengan harga yang tinggi.
"Sudahlah pak, jual saja kuda itu. Kau akan mendapat harta yang cukup untuk kebutuhan anak-anakmu dan kebutuhan hari tuamu" kata salah seorang tetangganya.
"Buat apa kau mempertahankan kuda itu. Apalagi kau juga harus memberinya makan setiap hari" kata yang lain.
Namun, sang kakek bersikeras tidak menjual harta satu-satunya itu. ia menyayangi kudanya sepenuh hati.

Beberapa waktu kemudian, sang kakek tidak mendapati kuda cantiknya di kandangnya. Kuda kesayangannya itu telah pergi dari rumahnya. Orang-orang segera mencibirnya.
"Wah malang sekali nasibmu. Coba kau jual kudamu waktu itu, tentu kau sudah mendapat uang banyak" kata seseorang.
"Kini baru kau pasti merasa menyesal" ucap yang lain.
Namun, sang kakek tidak merasa demikian. Ia mempunyai pemikiran yang berbeda dari orang-orang di sekelilingnya. Ia merasa bahwa kehilangan kudanya adalah memang yang terbaik yang diberikan Allah.
"Dzalika Khoir. Inilah yang terbaik untuk saya" jawab sang kakek.

Setelah beberapa hari kuda cantiknya pergi, tanpa di duga kuda nan jelita itu kembali ke rumah sang kakek. Bukan saja kembali, namun juga membawa beberapa kuda liar lainnya. Orang-orang segera berkomentar.
"Sungguh mujur... kudamu kembali, dan kau mendapat beberapa kuda lainnya" kata seseorang.
"Ya, alangkah baiknya nasibmu" timpal yang lain.
Namun, sang kakek hanya merasa bahwa inilah yang terbaik yang diberikan oleh Allah.
"Dzalika Khoir..." jawabnya tenang.

Anak laki-laki sang kakek berusaha menjinakkan kuda-kuda liar bawaan kuda cantik ayahnya. Ketika melatih salah satu kuda liarnya, ia terjatuh hingga kakinya patah.
Seperti biasa, orang-orang kembali melempar fatwa.
"Sungguh nasib buruk yang menimpa anakmu" kata seseorang.
"ya, ia harus menjadi cacat dan pincang" kata yang lain.
Lagi-lagi, sang kakek tidak berpikir seperti orang-orang pada umumnya.
"Dzalika khoir... inilah yang terbaik." kata sang kakek mantap.

Beberapa bulan kemudian, negeri tempatnya tinggal dilanda perang dengan negara tetangga. Sang raja membuat mandatori untuk mengumpulkan anak-anak muda penduduk negeri untuk didaftar menjadi tentara, ikut bergabung di medan perang. Anak laki-laki sang kakek bebas dari tuntutan untuk pergi berperang karena ia cacat. Alangkah beruntung sang kakek karena anak laki-lakinya tidak perlu ikut berperang, dan ia masih bisa hidup bersama dengan anak kesayangannya. Namun, kembali ia hanya berucap "dzalika khoir".

Itulah kisah sang kakek, manusia yang selalu berprasangka baik pada Allah, ikhlas dan ridho dengan ketentuanNya.

***---**---***

Tiga bulan yang lalu saya mendapatkan kabar akan dikirim ke Johor Baru, Malaysia, selama 3 hari untuk melakukan Factory Acceptance Test dari equipment HVAC. Alankah senangnya hati saya mendengar kabar itu. Maklum belum pernah ke luar negeri, pasti akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Namun, beberapa hari kemudian manager engineering memutuskan tidak jadi mengirim saya, melainkan senior saya yang lebih berpengalaman, disamping ia juga sudah mempunyai passport, jadi tidak perlu repot-repot lagi membuatnya. Saya merasa kecewa pada waktu itu.

Dalam perjalanan pulang menggunakan sepeda motor, saya masih memikirkan kekecewaan saya itu. Saya juga teringat kisah kakek tua yang selalu berkata "dzalika khoir." Saya berfikir apakah Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik? Apakah memang ini yang terbaik dari Allah? Lalu aku menjawab, tapi apakah ada kabar yang lebih baik dari pergi ke luar negeri? Ah, mungkin saja tidak ada. Tapi bukankah apa yang menurut saya baik belum tentu baik menurut Allah? Akhirnya dengan berat hati sayapun menerima keadaan itu. Hanya saja, masih ada yang mengganjal dalam hati saya. Mungkin Allah memang belum memberi saya kesempatan.

Hari senin senior saya pergi ke Malaysia. Besoknya, saya dipanggil manajer engineering ke ruangannya. Beliau mengatakan ada beberapa hal yang harus diselesaikan di tempat project kami di Surabaya. Seharusnya itu menjadi tanggung jawab senior saya, namun karena ia sedang FAT di malaysia dan keadaan mendesak, saya ditanya apakah siap jika dikirim ke Surabaya. Berbekal apa yang saya tahu di jakarta, saya merasa cukup siap. Besok paginya saya sudah berada di pesawat garuda bersama manajer project, menuju bandara Juanda.

Sepulang dari Surabaya, manajer engineering meminta laporan dari saya tentang masalah yang terjadi dan langkah apa yang saya ambil. Beliau cukup puas dengan laporan saya. Pekan berikutnya kembali saya terbang ke Surabaya, karena saya dianggap sudah pernah kesana jadi akan lebih mudah mengerti. Saat kembali lagi ke Jakarta, manager engineering mengatakan bahwa ia bergantung pada pekerjaan saya di lapangan, ia juga mengatakan cara saya berkomunikasi cukup bagus. Akhirnya, saya dikirim ke Surabaya untuk waktu yang agak lama, sekitar tiga minggu.

Tiga minggu di lapangan bukannya tanpa masalah. E&I Engineer dari client menulis email pada manajemen perusahaan saya bahwa saya tidak capable untuk berada di site karena masih baru dan tidak pengalaman. Ia bilang bahwa ia tidak butuh learner. Manajer engineering membalas email itu, menjelaskan bahwa saya bukan datang ke site dengan tangan kosong, tapi sudah tahu sistem. Saya cukup down dengan kejadian itu, namun berhubung saya sudah terlanjur basah, akhirnya saya lakukan saja apa yang terbaik. Biasanya client engineer complain dengan ini itu, dan akhirnya saya terpaksa bercapek-capek memenuhi keinginannya. Saya tidak peduli lagi apa pendapatnya soal kerjaan saya, saya hanya melakukan yang terbaik yang saya bisa.

Senior saya menyusul ke site, namun ia tidak full time. Lagi-lagi engineer client menulis email pada manajemen perusahaan saya. Namun, kali ini ia complain dengan kinerja senior saya, dan kabar bagusnya ia mengatakan "untungnya ada wahyu, dari pt rpe cuma wahyu yang kerjanya bener."

Akhir bulan, saya pulang ke Jakarta. Cuma untuk beberapa hari. Saya berjanji pada teman-teman hari Selasa sudah berada di lapangan lagi. Ketika teman saya mengajukan laporan pre-commisioning pada client engineer, si client engineer itu tidak mau tanda tangan karena ada beberapa hal yang ia tidak sreg. Si client engineer itu bilang "kalo gitu nanti aja, saya tunggu wahyu kembali kesini, hari selasa"

****---**---****

Hari ke empat belas ramadhan, aku baru pulang dari sholat tarawih berjamaah. Saat itu aku kembali teringat kekecewaanku dulu, saat batal pergi ke Malaysia. Namun, apa yang terjadi kini sungguh tak pernah terbayangkan. Aku mendapatkan pengalaman yang berkali lipat lebih menakjubkan dari sekedar pergi ke Malaysia tiga hari. Saya juga mendapat banyak kenalan senior untuk membuat link pekerjaan saya. Lalu, saya juga mempunyai pengalaman bekerja dengan ekspatriat yang berbahasa inggris. Dan ternyata, hal yang dilakukan di Malaysia oleh senior saya juga saya kerjakan di lapangan, jauh lebih lama dan tesnya lebih lengkap, dan masih banyak pengalaman lain yang tidak sempat saya tuliskan satu persatu. Saya merasa inilah jawaban Allah ketika dulu saya bertanya, apakah ini memang benar-benar yang terbaik yang diberikan Allah? Apalah lagi jawabannya jika bukan inilah yang terbaik untukku.
"Dzalika Khoir..." ucapku dalam kesendirian dan kesunyian malam Darmo kota Satelit, Surabaya. Saya menyesal kenapa baru sekarang saya mengucapkan kata-kata itu, bukankah seharusnya dulu saat saya merasa kecewa. tapi setidaknya saya belajar. Dan saya berjanji untuk selalu berprasangka baik kepada Allah.

Puji syukur saya hanturkan kepada sang khalik yang maha penyayang, yang telah memberi saya beribu nikmat yang tak kan pernah bisa saya hitung. kepadaNya yang mengajarkan saya banyak hal melalui kejadian-kejadian yang saya alami.

Wednesday, October 11, 2006

Rendezvous

Nama lengkapnya Imam Abu Hanifa. Tinggi tegap tapi agak kurus, kulitnya putih dan baby face. Typical anak gaul. Tapi bukan sembarang anak gaul, karena Abu (nama panggilannya) sekarang menjabat manager marketing sekaligus sales engineer di salah satu vendor saya yang menyediakan electrical equipment seperti genset dan motor control room. Baru beberapa waktu ini saja saya mengenalnya. Sebagai sales engineer, Abu sudah melanglang buana ke singapura, kuala lumpur, johor baru, london, manchester, dll.
(catatan : yg namanya Abu tidak ada dalam foto diatas, jadi bukan yg pake helm putih. Foto itu dipajang cuma sebagai ilustrasi kerjaan saya)

Berikut petikan perbincangan antara saya (S) dan Abu (A).
(Suasana di kantin PT PAL Surabaya cukup ramai, saya makan nasi dan sop, Abu makan ikan bakar)

A : vendor lu mana yu?
S : vendor gue? yg mana? orang Honeywell maksud lu? si Arfan?
A : ho oh.
S : tadi dia makan duluan, sekarang dah ke kantor katanya mo bikin timesheet dulu.
A : Masih muda juga dia ya? anak 98 katanya?
S : Yap, anak 98 poltek siemens.
A : ooo... poltek siemens. poltek siemens kan bagus tuh, yg gue tau dosennya banyak ngambil dari poltek UI.
S : (diem, mikir sebentar) o iya... dia kenal beberapa dosen gue. pak endang saepudin dia tau.
A : dosen lu?
(Abu diem sesaat)
A : emang? lu anak poltek UI?
S : iya.
A : angkatan berapa? (nada suaranya naik)
S : 99
(temen saya si Dana (D) menyela)
D : dia senior lu tuh...
S : oya? angkatan berapa mas Abu?
A : 96. Lu EC ya?
S : iya. mas Abu pasti anak listrik.
A : yap.
S : 96... kenal swandi dong.
A : lah, kenal. swandi yang ketua senat itu? anak telkom?
S : yup. Swandi satu kelas sama gue di ekstensi.
A : ohhh. dulu pas dia ketua senat, gue dibawahnya dia jadi kabid olah raga.
S : o gitu.
(beberapa saat kita diem. masih makan)
S : ikut milis poltek ngga?
A : yang mana? yang ada gue bikin milis angkatan gue sendiri.
S : ada yang seluruh angkatan kok. yang khusus elektro juga ada.
A : o, gue ga ikut itu. cuma yang angkatan gue aja.
S : iya kalo tiap angkatan masing2 sih ada. tapi kalo mas Abu ikut milis politeknik-ui-elektro, ada bu purwanti disitu.
A : oh gitu.
S : iya. dia suka ngasih angket buat lulusan elektro. pa jhoni, dosen EC, juga ada disitu.
(kita diem lagi, nglanjutin makan)
S : dulu waktu angkatan gue OSKKP, angkatan 96 banyak jadi panitia tuh.
A : OSKKP yg mana ya?
S : ya tahun 99. pas pertama gw masuk poltek.
A : oh (mikir agak lama sambil makan)
S : dulu yang panitia banyak, bang sani, bang dodi, dan temen2nya itu lah.
A : oh (masih mikir juga, kayaknya berusaha nginget-inget)
S : gue disuruh pake baju item putih. Bawa tas karung.
A : oh itu (nah suaranya berbinar-binar, tampaknya sudah inget…) itu sih gue jadi panitia juga.
S : oya?
A : gue satdis itu (ngomongnya semangat)
S : hah?
A : iya. Gue yang marah-marahin lu. Gue yang naik motor kesana-kemari nyuruh lu pada lari-lari yang baru pada dateng dari gerbang. (tambah semangat ngomongnya)
S : haaaah? (ga percaya)
A : hahahaha, seru banget dulu deh, asyik itu mondar-mandir jadi satdis.
S : (rasanya mual n pusing)

Tiga hari kemudian, vendor saya, orang pt. Honeywell, Arfan ditarik ke Jakarta karena harus dikirim ke plaju, palembang, untuk proyek pt.gas Negara. Sebagai gantinya, pada hari selasa jam 14.30 siang Leo dikirim ke pt PAL dan ketemu saya. Segera saja saya bawa ke kantor untuk saya kenalkan dengan manager kami.
Di dalam, mas Abu ngeliat kita dateng dan terlihat surprised.

A : Hey… yah ketemu dia lagi… (katanya sambil ngeliat Leo) Apa kabar jack?

Baru berkata begitu dia ngeloyor pergi meninggalkan kami bengong berdua.

L : rasanya pernah lihat dia. Dimana ya? Dia ITS ya?
S : bukan. emang mas Leo dulu kuliah di ITS?
L : iya tapi ekstensi. Lanjutin D3.
S : D3nya dimana?
L : poltek UI
S : ooo, pantesan. Mas Abu yang tadi itu poltek UI, teknik listrik 96.
L : saya listrik 95.
S : saya juga EC 99. sama, poltek UI juga. (huaaaaa hicks, skrg disini banyak temen seperguruan…)

Sahabatku yang t'lah Pergi

Saya punya seorang teman yang sangat baik hati dan perhatian. Ia seorang yang memang sifatnya mau mendengar cerita dari siapapun, tak heran jika pengetahuannya luas dan hampir selalu nyambung jika diajak ngobrol oleh seseorang. Jikapun tidak nyambung, ia akan bertanya sehingga ia yang belum tahu menjadi tahu. Kesediaannya untuk mendengar cerita orang lain itu adalah keunggulannya sehingga pergaulan dan pengetahuannya luas.

Apa yang membuat saya menyukainya adalah ia bukan hanya bersedia mendengar ceritaku tentang pekerjaan atau pengetahuan, tetapi juga mendengar dengan hatinya tentang masalah pribadi saya. Kemampuannya menjaga rahasia yang kupercayakan padanya membuatnya menjadi orang yang sangat dekat di hati saya.

Ketika di tempat umum, dia tidak segan untuk menyapa dan berbincang dengan orang lain yang belum dikenalnya. Sifat ramah dan helpfulnya itu membuat dia banyak dikenal orang, gaul, dan disukai teman-temannya.

Ia selalu terlihat bersemangat. Ketika bertemu seseorang ia tunjukkan wajahnya yang sumringah dan selalu tersenyum. Ia hampir tidak pernah terlihat bersedih. Meskipun kata-kata yang ia pilih adalah kata-kata baku seperti "kacau" atau "hebat" atau "luar biasa" namun itu bahkan menambah nilai plus baginya karena menjadi sesuatu yang unik dan agak lucu sehingga menjadi ciri khasnya yang tiada tersaingi. Sifatnya yang selalu bersemangat itu membuatnya dipercaya banyak orang untuk melakukan berbagai pekerjaan.

Pada awal September 2006, waktu itu sudah lebih dari sebulan saya berada di Surabaya, ditempatkan di sebuah proyek. Ketika browsing internet, saya membaca kabar yang mengejutkan di milis yang saya dan teman baik saya itu ikuti. Di milis itu, ia menyatakan akan pergi mendadak ke Timika. Besok malam berangkat. Artinya tidak ada kesempatan buat saya untuk bersua dengannya terakhir kali sebelum dia berangkat. Saya tidak tahu untuk berapa lama ia akan berada disana, apakah dia betah atau tidak tinggal di wilayah ujung timur Indonesia yang jaraknya teramat jauh dari tempat tinggal kami. Seandainya ia betah disana, satu atau dua tahun, tentunya ada kerinduan tersendiri dalam hati saya.

Kini ia telah berangkat, pergi meninggalkan tanah Jawa. Selamat berjuang di tempat yang baru, teman baikku.

S'lamat tinggal sahabatku
Ku kan pergi berjuang
Menegakkan cahaya islam
jauh di negeri seberang

Kalaupun tak lagi jumpa
Usah lah kau berduka
Semoga tunai cita-cita
raih gelar syuhada

S'lamat tinggal sahabatku
ikhlaskanlah diriku
Iringkanlah doa restumu
Allah bersama s'lalu

Kuberjanji dalam hati
untuk seg'ra kembali
menjayakan negeri ini
dengan ridho ilahi

S'lamat tinggal sahabatku
s'lamat tinggal sahabatku
(izzatul islam)


NB : sebulan setelah dia berangkat, temenku bertanya : “betah ga dia di timika? Jangan-jangan bentar lagi mo dinikahin sm akhwat anaknya kepala suku” huahahah

Barunawati


Di dekat pintu gerbang menuju pelabuhan Tanjung Perak, dipinggir sebelah utara perempatan bundaran yang setiap hari cukup sesak oleh berbagai jenis kendaraan, terdampar sebuah taman bernama Taman Barunawati. Disebelah taman itu juga berdiri yayasan pendidikan Barunawati yang mempunyai sekolah SD sampai SMK. ratusan remaja datang dan pergi bergerombol dari sekolah itu. Barunawati. Nama yang unik dan menggelitik otak kananku. Bagiku nama itu lebih dari sekedar nama taman atau yayasan pendidikan. Barunawati lebih terdengar seksi ditelingaku, mempunyai kekuatan aura yang memikat hatiku untuk selalu mengenang dan mengingatnya sebagai memoriam yang indah.

Tidak, aku tidak jatuh cinta di taman Barunawati itu. Tidak pula aku berlama-lama duduk ditaman itu menikmati suasana kota Surabaya. Aku hanya lewat setiap pagi dan sore, ketika beranagkat dan pulang kerja. Di pagi hari aku melewati barunawati saat tubuhku masih segar dan siap menjalani pekerjaan hari itu dengan penuh semangat, di antara belaian mentari pagi yang hangat dan beberapa penjual nasi krawu*) di pinggir jalan. Di sore hari aku melewati Barunawati bersama sinar jingga mentari sore yang sangat indah, tubuhku lelah karena pekerjaan hari itu namun aku bersyukur aku dapat menunaikan pekerjaan hari ini, dan aku lebih bersyukur dapat duduk tenang di mobil, beristirahat tanpa ada macet seperti Jakarta, menunggu sampai di mess tempat aku bersantai dan melepaskan lelah dengan tidur malam.

Namun, betapapun indahnya aku mengenang barunawati, ia hanyalah taman pinggir jalan yang dipandang orang dengan sebelah mata. Hanya sedikit orang yang menganggapnya penting. Setiap hari orang melewatinya seperti hari-hari yang lain saja, bahkan tanpa menoleh. Siapa peduli. Ia hanyalah tempat umum dengan rerumputan hijau dan patung kuda di salah satu sisinya, juga pepohonan rindang yang tumbuh di beberapa sudutnya.

*) nasi krawu : nasi dibungkus daun pisang yang dijual untuk sarapan, dengan lauk telor asin dan daging di suwir-suwir .

Episode Cinta Tanjung Perak

Ditempatkan di sebuah proyek merupakan pengalaman pertamaku yang sangat berkesan. begitu banyak hal baru yang kupelajari, banyak hikmah atas berbagai kejadian yang bisa kuambil, juga kata-kata bijaksana dari orang-orang disekelilingku yang semuanya sudah lebih lama hidup di dunia ini dibandingkan diriku, alias lebih tua. Ada perbedaan suhu, aroma, dan warna perbincangan antara diriku dengan mereka yang sudah berkeluarga. Biasanya, dengan orang-orang yang sudah lama berkeluarga itu, pertanyaanku akan berkisar dan terhenti pada "tinggal dimana, anaknya berapa, sudah berapa tahun..."

Berbeda dengan percakapan antar mereka yang sudah sama-sama merasakan manis pahitnya membina rumah tangga. Selalu ada saja bahan percakapan yang saling menimpali sambung-menyambung, tiada habis-habis seperti rentetan gerbong-gerbong kereta api yang sangat panjang. Ketika berbincang masalah keluarga, mereka menemukan teman berbincang yang sangat mengerti bagaimana rasanya karena iapun mengalami hal yang sama. Seperti ada aura yang melingkari sekeliling mereka saat mereka bertemu, memberikan suatu sinyal bahwa orang-orang itu sudah berada pada tahap yang lebih tinggi dari mereka-mereka yang masih lajang. Entahlah, aku memang belum menginjak masa itu. Namun aku bisa membayangkan bagaimana enak dan tidak enaknya.

Di sebuah perjalanan pagi hari, mentari di Surabaya bersinar teramat cerah dan indah, menyilaukan mataku lewat kaca jendela mobil yang kami naiki bertujuh. Di sebuah persimpangan tampak patung besar buaya dan ikan hiu yang konon berkaitan dengan sejarah nama kota Surabaya yaitu dari sura yang berarti ikan sura dan baya yang berarti buaya. Aku tidak ingin membahas masalah sura dan buaya, melainkan percakapan kami di mobil itu.

Namanya Pak Tassimin, senior designer pipa berumur empat puluhan yang duduk di depan disamping pak sopir itu, berbicara dengan nada bersemangat. Katanya, dulu mobilnya hilang, kemalingan. Kehilangan mobilnya itu tidak membuatnya merasa sedih. Ia berfikir bahwa mobil itu diambil sama yang punya, yaitu Allah swt. jadi ia merasa tenang-tenang saja. Akan tetapi, lain pak Tasimin, lain pula istrinya.

"istri saya merasa tidak tenang waktu itu, lalu menuruti nasihat orang-orang menggunakan dukun dan sebagainya itu, saya sangat menyesalkan itu..." ceritanya. ia sudah berusaha melarang istrinya, namun istrinya itu seorang yang keras kepala. Dengan sabar beliau mendidik istrinya, menaruhnya di tempat orang tuanya beberapa kali untuk banyak mengikuti pengajian, mengubah sifat-sifatnya. Namun beberapa kali usaha itu dilakukan, beberapa kali pula pak Tasimin kecolongan oleh sifat istrinya yang sangat tidak berkenan buatnya. Terakhir katanya diam-diam istrinya meminjam uang dari bank dengan jaminan sertifikat tanahnya. Lalu, dengan ngotot beliau menebus hutang istrinya itu ke bank. Tak mengapa uangnya habis diberikan ke bank asal sertifikat tanahnya kembali.
Beliau juga bercerita, kalau meminjamkan uang ke teman atau saudara-saudaranya, ia tak pernah mengharapkan pembayaran pengembaliannya. Kalau yang dipinjami itu bisa mengembalikan ya alhamdulillah, tapi kalau tidak ya dia mengikhlaskannya. Namun untuk hidupnya sendiri, sebisa mungkin dan sejauh mungkin menghindari berhutang. Menurut saya orang yang seperti itu akan sangat nyaman hidupnya, penuh syukur atas rizki yang ia terima dari Allah. Sangat berbeda dengan istrinya. Pernah juga ia sempat ingin meninggalkan istrinya dan menikah dengan orang lain, tetapi kasih sayangnya pada anak-anaknya (yang katanya sikapnya beda saat ia memperkenalkan calon istri barunya) membuatnya bertahan pada keluarganya. Sungguh, aku terkesan dengan kisah hidupnya.

"istri saya ya begitu orangnya... makanya kamu... " beliau berkata seperti sambil mikir.
"itu siapa... yang belum keluarga... wahyu... " aku tersentak dari lamunan mendengar namaku disebut.
"yes pak..." jawabku sekenanya.
"nanti ada masa-masanya kamu harus sabar ketika diuji..." lanjutnya.
"oh iya... betul pak" jawabku sotoy.

Tapi memang betul, semenjak itu sepertinya aku punya tekad baru. Seperti apa sifat istri saya nanti, saya tidak tahu. Kalau sifatnya lebih bagus dari saya, alhamdulillah, semoga saya bisa belajar darinya. Tapi jika tidak, saya harus mendidiknya, karena posisi saya adalah kepala keluarga. Tekad baru saya adalah mendidik istri. Mungkin ia bisa cepat berubah, bisa juga tidak. Mungkin setelah satu tahun belum bisa berubah menjadi lebih baik, aku harus tetap mendidiknya dengan sabar. Mungkin juga lima tahun baru bisa berubah, akupun harus tetap mendidik istri dengan hati lapang dan perasaan ringan. Mungkin juga hingga kami dijemput ajal, ia tidak berubah, aku pun tetap harus menjalankan fungsiku sebagai pendidik. Hidup ini tidak lama, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu hidup ini hanya untuk kepentingan menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Sungguh, hidup ini sebentar.

Jadilah di dunia, bagai orang asing
atau pengembara yang tidak lama
Bila pagi datang jangan tunggu sore
Bila sore datang jangan tunggu pagi

Berbekallah yang banyak
untuk segera pulang
bertemu dengan Allah
di alam sana
(izzatul islam)

Thursday, April 27, 2006

Pride to My Little Brothers

My Mother’s children altogether are men. I am the oldest, and the rest, my little brothers are now studying in SD and SMA. When I’m go home to my village (pulang kampung) two weeks ago, I got a very good and amazing news from my mother.

The first news was seem ordinary, my little brother who sits in SMA (his nickname is Aas) was sent to Semarang, deputizing Kabupaten Purbalingga for participating in Central Java Physics Competition (Lomba Fisika Se-jawa Tengah). Though he doesn’t become the winner (some say he was beated by Taruna Nusantara Student, Magelang) but I think its good enough because he has chosen to deputize Purbalingga sub-province. Well, as I said, I’m not too surprised with this news, because since he was a little-little SD kid, I knew that he is very smart. When he was in SD 6th class, I teach him mathematics items for SMP 2nd class, and he understand it. From long time ago, I have seen his talent in the exact lesson
.



The second news was made me agaze. Its my youngest brother, (his nickname is Dani) he sits in the 5th class SD. Compared to Aas, he seems not too smart like him, he is a kind of quiet (pendiam) kid , and rather mousy (pemalu).

Dani was the 1st winner in mathematics competition se-kecamatan. His teacher said " truly Dani is a smart boy, but he just not very quick in thinking." Ouw, what the teacher said was again really made me gaze.

Dani’s growth from SD 1st class until now was far from my observation. You know I have 7 years live in Jakarta, so I don’t know exactly his ability, his talent and his eager. Different with his oldest brother, Aas. That 1st winner achievement se-kecamatan absolutely made me surprise and happy. Soon I talk to Aas, I give him a request (an instruction, lebih tepatnya) to teach Dani anything that made him interest. "Encourage him to learn and learn... teach him" I told Aas.

So, my little brothers, go fly until you are so high, as high as Kejora evening star. Your brother here was very proud to see all of your achievement... don't be like me, who was minimum in achievement. The only achievement that I get is when I’m in college, PNJ (PNJ? Where is that? I’ve never heard it before…:D )


---- Why Ariabaskara, April 27, 2006----